Hai sobat ekysite! kali ini saya akan men-share tentang peristiwa 10 November, yup betul sekarang bertepatan tanggal 10 November 2012 adalah hari Pahlawan langsung aja ya,Pertempuran
Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara
Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal
10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah
perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Kronologi penyebab peristiwa
Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal
1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah
tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah
penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh
Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga
tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan
kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah
kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti
senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang
memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan
Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris
mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok
Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para
tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke
negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda
sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk
tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan
pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah
munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah
Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran
bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks
gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan
bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl.
Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok
orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera
Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah
Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan
melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.
Tak
lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman,
pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku
Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati
kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.
Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman
tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda
yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian
pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan
terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah
insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris .
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah
gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata
antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan
bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30
Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir
Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika
akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya
tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby
ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh
untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak
Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom
Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris
(Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen
Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh
pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak
ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak
mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
“…
Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di
sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan
tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis
pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan
senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan
berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka
patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun
menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam
diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka
melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari
untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar.
Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka
tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah,
setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah
itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak
benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati
mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).
Saya
pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena
informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira
Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat
jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan … “
Ultimatum 10 November 1945
Setelah
terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal
Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan
dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan
senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal
10 November 1945.
Ultimatum
tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi.
Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa
Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada
10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan
Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah
pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Berbagai
bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut
dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di
seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya
penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh
menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di
luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya
bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti
pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus
menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga
perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai
pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta
kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan
masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat
tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan
taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung
lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya
6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India
kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan
ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di
seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi
korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan
oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Cerita Lain Yang belum pernah Terungkap Versi Soemarsono (Wawancara oleh Dahlan Iskan)
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)
Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda
Selamatkan Bung Tomo dari Amuk Pemuda
Saya
tidak menyangka kalau tokoh ini masih hidup. Bahkan, masih segar bugar.
Dia lahir pada 22 September 1921 yang berarti kini sudah berusia 88
tahun. Bicaranya masih sangat bersemangat dan ingatannya masih luar
biasa tajam. Dia tidak pernah diwawancarai wartawan, setidaknya karena
dua hal. Pertama, selama 35 tahun masa Orde Baru tentu tidak ada
wartawan yang berani mewawancarainya. Kedua, dia memang jarang bergaul
di depan umum. Ini karena sepanjang hidupnya dulu dia hampir selalu
berada di penjara. Kalau toh waktu itu sedang di luar penjara, dia tidak
berani menggunakan nama aslinya.
Dan,
22 tahun terakhir, setelah keluar dari penjara, dia memilih tinggal di
Sydney, yang membuatnya semakin jauh dari ingatan orang Indonesia.
Apalagi, dia juga lantas menjadi warna negara Australia. Tinggal dialah
tokoh utama pertempuran Surabaya pada 1945 yang masih hidup. Yang
menjadikan Surabaya sebagai Kota Pahlawan itu. Selama ini kita hanya
menyanjung-nyanjung tokoh seperti Bung Tomo atau Roeslan Abdoelgani.
Padahal, yang satu ini adalah ketuanya dua orang itu. Bahkan, Bung Tomo
pernah minta kepada dia agar diselamatkan nyawanya. Yakni, ketika Bung
Tomo ditangkap para pemuda karena dianggap melanggar disiplin
perjuangan.
Dia
yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu. Namun,
namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi
disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek:
Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja. Dia juga
pernah punya banyak nama samaran: Samio dengan pangkat sersan atau Setia
dengan pekerjaan guru. Bergantung pada siapa yang sedang menangkapnya.
Dia sendiri secara resmi pernah punya pangkat mayor jenderal (tituler)
yang diberikan oleh Bung Karno.
Begitu
mendengar bahwa orang ini masih hidup, saya langsung berusaha mencari
dan menemuinya. Awalnya tentu saya harus mencari orang yang tahu alamat
lengkapnya di Sydney. Saya bertekad ingin ke sana khusus untuk
menemuinya. Tapi, ketika saya sedang menelusuri alamatnya itu, saya
mendengar selentingan bahwa dia lagi di Jakarta. Lagi menengok anaknya.
Saya pun bergegas ke Jakarta pekan lalu. Sebelum Marsono keburu balik ke
Sydney. Pagi itu juga saya bisa diterima di rumah anaknya di bilangan
Bintaro. Salah satu dari enam anaknya memang tinggal di perumahan kelas
menengah itu. Putrinya ini seorang dokter gigi yang kawin dengan seorang
fund manager. Dialah anak yang praktis dibesarkan hanya oleh ibunya,
karena sang ayah lebih banyak ‘’sibuk” masuk penjara.
Hampir
lima jam saya bicara dengan Soemarsono. Tentu, saya menanyakan banyak
hal. Mulai pertempuran Surabaya sampai ke soal Peristiwa Madiun yang
menewaskan banyak sekali keluarga saya. Ya! Soemarsono juga tokoh utama
dalam Peristiwa Madiun 1948 yang amat terkenal itu. Jabatannya dalam
struktur pemerintahan yang dipimpin Musso dan Amir Syarifudin itu sangat
tinggi: gubernur militer. Dalam kesempatan lain saya akan menulis
khusus mengenai bagaimana Soemarsono memimpin peristiwa Madiun kala itu.
Soal pertempuran Surabaya sendiri dia masih ingat sampai ke soal
detail-detailnya. Penjelasannya sangat rinci, dengan warna-warna yang
kaya dan tanpa pretensi agar dia diakui sebagai pahlawan utama
pertempuran Surabaya. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan
dalam pertempuran Surabaya itu,” kata Soemarsono ketika saya tanya
mengapa dia tidak mau menonjolkan diri. ”Pahlawan sebenarnya adalah
rakyat,” tambahnya.
Tapi,
mengapa Bung Tomo begitu populer sebagai tokoh pertempuran Surabaya?
Soemarsono ternyata memiliki jawaban yang belum pernah saya dengar
selama ini. Jawabannya ini juga tidak pernah diucapkan oleh siapa pun
selama ini. ”Itu karena dia terus mengobarkan semangat rakyat lewat
radio,” ujar Soemarsono. ”Itu dia lakukan sebagai tugas karena dia
memang menjabat ketua bidang penerangan di PRI,” tambahnya.
PRI
adalah singkatan Pemuda Republik Indonesia, sebuah organisasi yang
menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsonolah
ketua PRI itu. Ketika Bung Tomo membakar semangat kepahlawanan arek-arek
Soroboyo melalui radio, Soemarsono sebagai ketua PRI terus menggerakkan
rakyat di lapangan. Membakar semangat yang sama dari kampung ke
kampung. Kalau istilah sekarang, Bung Tomo yang melakukan serangan udara
dan Soemarsono yang menggelar serangan darat.
Selama
ini, sesuai dengan yang ditulis di buku-buku, kita mengenal Bung Tomo
sebagai ketua BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia). Bukan sebagai
bagian penerangan PRI. ”Benar,” kata Soemarsono. ”Tapi, itu belakangan.
Setelah dia semakin terkenal, kemudian dia mendirikan BPRI. BPRI itu
berdiri belakangan,” ujarnya. Bahkan, menurut Soemarsono, tindakannya
mendirikan BPRI itu sempat menjadi masalah. Membuat tokoh-tokoh pemuda
Surabaya marah. Bung Tomo dianggap berusaha memecah belah kekuatan
pemuda Surabaya.
Bung
Tomo, kata Soemarsono, lantas ditangkap oleh pemuda-pemuda beringas
itu. ”Lalu dibawa ke saya dengan maksud agar saya menjatuhkan hukuman
kepadanya,” kata Soemarsono. ”Begitu tiba di rumah saya, Bung Tomo
langsung duduk jongkok di depan saya. Minta nyawanya diselamatkan,”
tambah Soemarsono. Kisah ini benar-benar baru bagi saya.
Saat
itulah Soemarsono berusaha menenangkan para pemuda itu. Dia menjelaskan
bahwa Bung Tomo tidak menyalahi aturan. Pendirian BPRI justru bisa
menampung pemuda-pemuda yang masih di luar PRI, seperti tukang-tukang
becak. Para pemuda beringas tersebut ternyata bisa menerima penjelasan
Soemarsono. Bahkan, Soemarsono menyatakan bahwa Bung Tomo tetap sebagai
ketua bidang penerangan PRI dan sekaligus diperbolehkan menjadi ketua
BPRI. Maka, tidak ada lagi yang mencurigai Bung Tomo sebagai orang yang
bergerak sendiri.
PRI
sendiri didirikan pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum
pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi
pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa
tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan
menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.
Dua
hari kemudian ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai
Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga
dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani
mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih
Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara
aklamasi. ”Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini,”
ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono.
PRI
memilih bermarkas di sebuah bangunan kecil di Jalan Wilhelminalaan.
Hari itu juga papan nama jalan tersebut langsung mereka ganti dengan
Jalan Merdeka (sekarang dikenal dengan nama Jalan Widodaren). Belakangan
markas PRI pindah ke Hotel Simpang yang jauh lebih besar.
”Roeslan
Abdoelgani itu, menurut saya, mundur bukan karena merasa terlalu tua.
Tapi, dia itu orangnya memang agak penakut,” ujar Soemarsono seraya
tersenyum. ”Kalau saya ini sudah sering bilang kepada istri bahwa saya
bisa sewaktu-waktu mati. Harus diikhlaskan,” tambahnya.
Hari
itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan
Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya.
Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua
Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun
perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang
menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis
pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono
adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di
Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.
Tiba
di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda
yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke
rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar
Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di rumah saya juga lagi ada
beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono
mengenang.
Maka,
dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan
ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari
Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak
orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan
Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung
kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.
Menurut
Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada
seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris
yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak
sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera berkibar.
Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
Si
sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak
mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan
turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.
Sesaat
kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya
seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah
W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai
wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak
berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari
hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam.
Maksudnya menakut-nakuti massa.
Melihat
itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika
tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang
diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana
diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian
belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan
bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada
yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin
ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar
batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak batu
yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu
lagi ke depan hotel.
Tiba-tiba,
Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya
ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang
becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya
–kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Cerita pendaratan sekutu
Saya
juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar belakang sebenarnya
mengapa pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya hanya tahu
bahwa hari itu tentara Sekutu mendarat kembali di Surabaya, lalu
disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Pemuda Surabaya
tidak senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat
yang membuat Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.
Ternyata
tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan cara baik-baik. Menurut
Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang ternyata masih hidup
dan berusia 88 tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu mendarat dengan izin
resmi dari pemerintah Indonesia. Juga diterima secara baik-baik oleh
kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya Soemarsono menjadi ketua.
Sebelum
tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari pemerintah pusat datang
menemui Soemarsono. Salah seorang di antara mereka adalah pejabat
Menteri Keamanan Salyo Hadikusumo (menteri keamanan yang sebenarnya
adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum diangkat pun tidak ada yang tahu
di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri Negara
Sartono. Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara
Sekutu akan mendarat di Surabaya.
Tujuan
pendaratan itu baik: mereka akan mengurus tahanan-tahanan perang di
masa lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya. Yakni, ketika
terjadi perang antara Jepang dan tentara Sekutu dengan kekalahan telak
di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu hubungan
internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War
and Internees.
Maka,
ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda Surabaya pun membantu.
Mereka menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan Perang Sekutu
itu akan bermarkas. Salah satunya di Gedung Internatio -bangunan dua
lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan Merah Plaza itu. Di
sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.
Menurut
Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga hari tentara Sekutu
berada di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan desas-desus:
jangan-jangan Sekutu juga akan melucuti senjata yang secara luas kini
berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu memang milik
Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil
dari tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari
mulut ke mulut kian luas: kok tentara Sekutu berada di sudut-sudut
Surabaya yang strategis.
Berdasarkan
kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat keputusan untuk mendahului
daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai menyerang pusat-pusat
konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga hari. Yakni
28, 29, dan 30 Oktober 1945.
”Perang
ini perang besar. Ini perang melawan tentara Sekutu yang gagah berani,
yang persenjataannya modern, yang baru saja memenangkan perang besar di
seluruh Asia Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.
Dalam
pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan pemuda Surabaya di atas
angin. ”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan mutlak sudah bisa
didapat,” ujar Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu itu.
Sekutu
sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu
se-Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu mengusahakan
genjatan senjata. ”Karena itu, kami sempat jengkel ketika Bung Karno
minta pertempuran dihentikan,” ujar Soemarsono yang dalam usia 88 tahun
ini semangatnya masih luar biasa.
Setelah
menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi tentara Sekutu di
Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni, untuk
menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan gencatan
senjata. Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi presiden
pertama Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang diberikan
tentara Sekutu untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini. Yang
jelas, hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke
Surabaya dengan pesawat dari Singapura tersebut.
Tiba
di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi keliling kota. Bung
Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung Karno keliling
kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para pimpinan
pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang berbeda-beda.
Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo, bagian selatan
Kota Surabaya.
Soemarsono
kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung Karno itu. ”Saya
nyumpah-nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah hampir
menang, kok disuruh berhenti,” kisahnya.
Dari
siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi presiden akan
melewati Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu, dia
pamit kepada pasukannya untuk mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel.
”Saya berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil yang membawa Bung
Karno dan Bung Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi
itu. Saya marah-marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno
bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung
Karno diam saja sambil menunduk,” kenang Soemarsono.
Tidak
lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno menjawil Mr Amir
Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan rakyat.
Jawilan Bung Karno itu maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari mobil
untuk menemui Soemarsono.
”Amir
langsung merangkul pundak saya dan membisikkan kata-kata yang membuat
saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan bagaimana Amir
merangkul dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono, pemred harian
INDOPOS Jakarta (Jawa Pos Group) yang bersama saya menemui Soemarsono
pekan lalu.
Sambil
merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan kata-kata seperti gaya
waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya. Apa isi bisikan
”maut” itu? ”Marsono, ini sudah dirundingkan dengan kita-kita di
Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir Syarifuddin. Melihat
Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir menambahkan bisikannya
dengan mengutip pepatah dalam bahasa Inggris. ”Not the battle. We have
to win the war,” bisik Amir.
Dalam
kamus militer, memenangkan pertempuran (battle) memang belum berarti
memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang sebenarnya
adalah memenangkan perang dan bukan hanya untuk memenangkan pertempuran.
Menurut teori ini, kalau perlu sebuah pasukan bisa memenangkan perang
tanpa harus melakukan pertempuran.
Dalam
setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang selalu ada konflik
intern menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi sering
lebih memilih jalan perundingan. Para pejuang di lapangan sering memilih
jalan perang. Dua kelompok ini sering saling mengklaim dirinyalah yang
benar. Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah negara. Dalam
sebuah partai kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa dihindarkan. Di
Partai Golkar saat ini, misalnya, pertentangan antara kelompok yang mau
oposisi dan yang mau bergabung ke SBY saja serunya bukan main.
”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti Gatotkaca ilang
gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya.
Soemarsono memang sangat tunduk kepada Amir Syarifuddin. ”Kalau saja
hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya untuk menghentikan perang,
saya tidak akan tunduk,” ujarnya. ”Tapi, Bung Karno juga tahu kelemahan
saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke
Surabaya,” tambahnya.
Soemarsono
akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak Amir untuk naik mobil ikut
konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata. ”Mati aku ini,”
katanya dalam hati ketika itu. Hari itu juga, 30 Oktober 1945,
perundingan diadakan di kantor gubernur Jatim. ”Dalam perundingan itu
Mallaby mengatakan ada sekitar 5.000 tentaranya yang hilang. Minta
dikembalikan,” ujar Soemarsono mengenang. ”Saya langsung jawab. Kami
kehilangan 20.000 orang. Apa bisa minta kembali?” imbuh Soemarsono.
Perundingan
itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu. Karena itu, 10 hari kemudian,
10 November 1945, ketika sudah berhasil konsolidasi, tentara Sekutu
melakukan serangan hebat. Sekutu memborbardir Surabaya. ”Serangan 10
November itu pada dasarnya adalah serangan pembalasan. Luar biasa
banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung Karno untuk
menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,”
ujar Soemarsono.
Dengan
mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu, Soemarsono bermaksud agar
tidak ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi pahlawan dalam kaitan
dengan perang Surabaya ini. Tidak juga dirinya. ”Ini perang rakyat
Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono yang kini menjadi
warga negara Australia itu.
Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian
Setelah
hampir 25 tahun tinggal di Sydney, Australia, Soemarsono sempat ke
Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni ketika dia ke Jakarta untuk
menengok anak-anaknya. Kali ini dia ke Indonesia sebagai orang asing. Ia
ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya. Kota yang pada 1945
melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh utamanya. Dia
juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang bersejarah
itu.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Dia
ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan sampai ada satu atau
dua orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling berjasa dalam
pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.
Karena
itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada orang yang ngotot minta
diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa penyobekan bendera
tiga warna di atas Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit di Jalan
Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda Surabaya ketika melihat
bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di tiang bendera di
atas atap lobby hotel tersebut.
“Memangnya
dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada orang-orang
yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai bendera itu”
Kalau tidak ada orang yang ramai-ramai naik ke gedung itu, apakah dia
bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda yang memenuhi halaman hotel
itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka berani naik”
Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata Soemarsono.
Hari
itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di Jalan
Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda Surabaya.
Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya jadi ketua
Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun
perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang
menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis
pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono
adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di
Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.
Tiba
di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera Belanda
yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda yang ke
rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut agar
Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di rumah saya juga lagi ada
beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono
mengenang.
Maka,
dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka berjalan
ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang perjalanana dari
Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak. Intinya mengajak
orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung bersama-sama ke Jalan
Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama jumlah yang bergabung
kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya sudah ratusan orang.
Menurut
Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka melihat ada
seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah tentara Inggris
yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka berteriak-teriak
sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera berkibar.
Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut. “Turunkan
bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan
Soemarsono.
Si
sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia tidak
mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan
turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.
Sesaat
kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang badannya
seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa dia adalah
W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali sebagai
wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak
berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari
hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam.
Maksudnya menakut-nakuti massa.
Melihat
itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun ketika
tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang
diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana
diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian
belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan
bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain juga mulai ada
yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan tersebut semakin
ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai berani melempar
batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama semakin banyak batu
yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat. Mereka menyerbu
lagi ke depan hotel.
Tiba-tiba,
Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu terkapar. Perutnya
ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh seorang tukang
becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa Ploegman sebenarnya
–kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Banyak
bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya. Saya beruntung sempat
bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi Soemarsono masih
bisa menceritakan apa saja peranannya sebelum kemerdekaan dan setelah
proklamasi kemerdekaan. Juga bagaimana dia kemudian memimpin peristiwa
Madiun 1948 bersama Musso dan Amir Syarifuddin –yang antara lain membuat
banyak keluarga saya dibunuh PKI.
Dalam
perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya juga bisa bertanya
banyak hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak Simbolon di Sumut.
Lalu, pada 1965 ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun karena
dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana dia memutuskan untuk pindah
ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan menuliskannya
dalam serial yang lain beberapa hari mendatang.
Tugu Pahlawan
Tugu Pahlawan,
adalah sebuah monumen yang menjadi markah tanah Kota Surabaya. Monumen
ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Koordinat: 7°14′45″S 112°44′16″E / 7.245808°LS 112.737785°BT / -7.245808; 112.737785
Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu bersama Belandaicon
Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi
pusat perhatian setiap tanggal 10 November dimana pada tahun 1945 banyak
pahlawan yang gugur dalam perang kemerdekaan. yang hendak
menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada di tengah-tengah kota,
dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah
satu
Bung Tomo, Tokoh Pakawan 10 November
MESKIPUN
tidak menyelesaikan pendidikan formal. Bung Tomo sukses di organisasi
kepanduan, sehingga dia meraih peringkat Pandu Garuda.
Bung
Tomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia
berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras
untuk memperbaiki keadaan.
Pada
usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO.
Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak
depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan
pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo
kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan
Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya,
merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Sayang, dalam catatan Wikipedia atau pelacakan data lainnya, sulit ditemukan siapa dua sosok lainnya peraih Pandu Garuda itu.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Sayang, dalam catatan Wikipedia atau pelacakan data lainnya, sulit ditemukan siapa dua sosok lainnya peraih Pandu Garuda itu.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober 1945,
pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer
Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk
menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6
di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio,
pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba
di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan
pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area
dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar
kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan
tembak-menembak.
Kapten Shaw,
Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk
menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung,
hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam
mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah
rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan
tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan
ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung
sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat
mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945,
yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia,
sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh
untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
- Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
- Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya
Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai
menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru
datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa
perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak.
Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya
dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara
licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris
-untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela
mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara
licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran-
yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta.
Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8
Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan
pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak
Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya
dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah
keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg.
Dengan
pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar
balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak
Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang
bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada
kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan
tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio
pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai
permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan
persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui
permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari Kapten Shaw.
Kemudian
tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”,
perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku
bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I.
Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai
yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah,
dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan
besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10
November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang
saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno.
Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November
1945.
Dari
berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan
pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada
seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat
tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6,
Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer
Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama,
kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg
di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam
analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At
approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were
ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde.,
to proceed to the Government offices, where we were each to collect an
Indonesian representative. From there one of us was to go north, and the
other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back
to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with
the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan
Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak
Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan
keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan
dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan
terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973,
Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
Tentu
sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam
mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang
mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan
itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan
jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang
perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas
sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam
tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan
keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus
oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain
itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh
Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka,
artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut
pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali,
karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di
kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk
memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri
tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W.
Hutagalung.
Seandainya
keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk
memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw
untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka
meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi
pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi,
Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai
tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan.
Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu
bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian
justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi.
Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby
meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan
Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo,
seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo
ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil
kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar,
diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa
Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama
Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby.
Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan
granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di
sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain
Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil.
Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah
penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang
telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik
dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi
sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan
pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil,
sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi
paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia
menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah
kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan.
Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian
jantung.
Di
samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda
tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith-
ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak
ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru
pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang
menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol,
sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post
mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945,
menuliskan (Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray,
London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.
Sumber
Semoga Bermanfaat :)
1 komentar:
sebuah perjuangan yang nyawa menjadi taruhannya. Arek-arek suroboyo. selamat jalan pahlawanku. semoga di terima disisinya
Sewa Mobil Surabaya
Posting Komentar